Artikel atau sebagian dari artikel ini mungkin diterjemahkan dari State Shinto di en.wikipedia.org. Isinya masih belum akurat, karena bagian yang diterjemahkan masih perlu diperhalus dan disempurnakan. Jika Anda menguasai bahasa aslinya, harap pertimbangkan untuk menelusuri referensinya dan menyempurnakan terjemahan ini. Anda juga dapat ikut bergotong royong pada ProyekWiki Perbaikan Terjemahan. (Pesan ini dapat dihapus jika terjemahan dirasa sudah cukup tepat. Lihat pula: panduan penerjemahan artikel) |
Bagian Seri Agama di |
Shinto |
---|
Praktik dan keyakinan |
Kuil Shinto |
Kami Penting |
Literatur Penting |
Lihat juga |
Agama |
Shintō negara (国家神道 atau 國家神道 , Kokka Shintō) mendeskripsikan penerapan ideologi Shinto sebagai tradisi rakyat asli dalam kehidupan bernegara Kekaisaran Jepang.[1] Negara sangat mendorong praktik-praktik Shinto untuk menjadikan Kaisar sebagai sosok ilahi,[2] yang memegang kontrol keuangan kuil dan rezim terlatih untuk para pendeta.[3][4][5]
Ideologi Shinto negara timbul pada permulaan era Meiji, setelah para pejabat pemerintah menolak kebebasan beragama dalam Konstitusi Meiji.[6] Para cendekiawan kekaisaran meyakini bahwa Shinto merefleksikan fakta sejarah dari asal usul keilahian Kaisar ketimbang keyakinan agama, dan berpendapat bahwa ini harus meraih hubungan yang diutamakan dengan negara Jepang.[2][4] Pemerintah berpendapat bahwa Shinto adalah sebuah tradisi moral non-relijius dan praktik patriotik.[4][5] Meskipun upaya-upaya era Meiji awal untuk menyatukan Shinto dan negara mengalami kegagalan,[6] konsep non-relijius dari ideologi Shinto dimasukkan ke dalam birokrasi negara.[7][8] Kuil-kuil didefinisikan sebagai patriotik, bukan agama, institusi yang memegang keperluan negara seperti menghormati korban tewas pada masa perang.[6]
Negara tersebut juga mengintegrasikan kuil-kuil lokal ke dalam fungsi politik, terkadang menimbulkan penentangan dan penarikan lokal.[5] Dengan sedikit kuil yang didanai oleh negara, nyaris 80.000 kuil ditutup atau digabung dengan wilayah tetangga.[6][7] Beberapa kuil dan organisasi kuil mulai secara sendiri-sendiri mendorong pengarahan negara, tanpa pendanaan.[7] Pada 1940, para pendeta Shinto mengalami penganiayaan karena menampilkan upacara keagamaan Shinto tradisional.[6][9] Kekaisaran Jepang tak menggambarkan perbedaan antara ideologi Shinto dan Shinto tradisional.[7]
Para pemimpin militer AS memperkenalkan istilah "Shinto negara" untuk membedakan ideologi negara tersebut dari praktik-praktik Shinto tradisional[2] dalam Pengarahan Shinto tahun 1945.[2] Dekrit tersebut menganggap Shinto sebagai agama, dan melarang pemakaian ideologi lebih lanjut dari Shinto oleh negara.[9] Kontroversi masih terjadi mengenai pemakaian simbol-simbol Shinto dalam fungsi-fungsi negara.[3][9][10]
<ref>
tidak sah;
tidak ditemukan teks untuk ref bernama Fridell
<ref>
tidak sah;
tidak ditemukan teks untuk ref bernama Earhart
<ref>
tidak sah;
tidak ditemukan teks untuk ref bernama Shibata
<ref>
tidak sah;
tidak ditemukan teks untuk ref bernama Zhong
<ref>
tidak sah;
tidak ditemukan teks untuk ref bernama Keene
<ref>
tidak sah;
tidak ditemukan teks untuk ref bernama Hardacre
<ref>
tidak sah;
tidak ditemukan teks untuk ref bernama :0
<ref>
tidak sah;
tidak ditemukan teks untuk ref bernama Beckford
<ref>
tidak sah;
tidak ditemukan teks untuk ref bernama Loo